
Jakarta, 30 Januari 2025,-
Jakarta, 30 Januari 2025: Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW), bekerja sama dengan PROGRESS dan didukung oleh PCI, meluncurkan “Coping with Climate: How Extreme Weather is Already Impacting Internal Migrants?” pada 30 Januari 2025 di Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, akademisi, dan LSM/CSO. Dalam kegiatan ini juga dilaksanakan presentasi temuan dan diskusi panel dengan pemangku kepentingan utama.
Melalui upaya kolaboratif mereka, organisasi-organisasi ini melakukan survei terhadap 1.492 migran internal di delapan provinsi. Kartika Sari, Direktur PROGRESS, memberikan analisis mendalam tentang hasil survey yang telah dilakukan.
“Kami menemukan bahwa 90% responden telah terpengaruh oleh perubahan iklim dalam beberapa kapasitas, dengan banjir menjadi dampak yang paling umum (75%), diikuti oleh kekeringan (55%). Bahaya terkait iklim ini telah mengganggu ketahanan pangan, kesehatan, perumahan, dan sanitasi migran secara signifikan.” ungkapnya. Meskipun menghadapi tantangan ini, ada kekurangan dukungan dari pemangku kepentingan untuk menangani kebutuhan mereka.
Pada sesi diskusi panel, berbagai pemangku kepentingan diundang untuk merespons temuan dan berbagi pengalaman serta program mereka. Sesi ini dimoderatori oleh Basten Gokkon, seorang jurnalis ternama dari Mongabay. Di antara panelisnya adalah Nabiyya Perennia dari DFW Indonesia dan Hanindha Kristy dari Beranda Migran. Keduanya memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi oleh migran di Jawa, khususnya mereka yang terpapar risiko iklim. Nabiyya membagikan temuan terbaru mereka dari Pekalongan, Jawa Tengah, di mana mereka berfokus pada nasib anak buah kapal (ABK) yang sering terpaksa menjalani perjalanan panjang antara 10 hingga 18 bulan, bekerja dalam kondisi buruk tanpa asuransi kerja.
“Penelitian kami di Pekalongan menemukan bahwa siklus kemiskinan terus-menerus menjebak para mereka dalam profesi ini. Bahaya iklim, seperti cuaca ekstrem dan banjir pesisir, telah berdampak serius pada sektor perikanan yang mereka andalkan untuk pendapatan. Banyak dari mereka yang merasa putus asa dengan keadaan mereka.” ujar Nabiyya.
Hanidha membahas situasi pekerja migran dari Cilacap di selatan Jawa Tengah. Karena kemiskinan dan kekeringan parah selama musim kemarau, buruh tani di Karangjengkol terpaksa mencari pekerjaan di tempat lain.
“Selain perubahan iklim, perubahan penggunaan lahan telah memindahkan nelayan lokal, mendorong mereka ke perairan yang berbahaya tanpa dilindungi oleh asuransi atau perlindungan sosial. Akibatnya, hampir setiap rumah tangga di daerah tersebut memiliki setidaknya satu pekerja migran yang menghadapi kondisi berisiko di pasar tenaga kerja domestik maupun internasional.” ujar Hanidha.
Dr. Ali Yansyah Abdurrahim, akademisi di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), turut membagikan perspektifnya. Dengan keahlian luas dalam dinamika manusia-iklim, Dr. Ali memuji laporan ini atas riset berskala besar. Ia menekankan kesenjangan yang terus berlangsung dalam kebijakan tenaga kerja dan mengusulkan perlunya data real-time tentang migrasi internal, khususnya yang terkait dengan peristiwa iklim.
“Untuk mendorong hal tersebut, saya merekomendasikan untuk bisa melakukan kolaborasi di antara semua pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta melalui CSR.” ungkapnya.
Mewakili pemerintah daerah, Bayu Eka Putra, Sub-koordinator Standardisasi Kompetensi Kementerian Ketenagakerjaan, membahas inisiatif pemerintah yang berfokus pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Kementerian Ketenagakerjaan mendukung pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal, literasi digital dan teknisnya, serta sertifikasi melalui program seperti Siap Kerja dan Skill Hub.
“Dalam beberapa waktu terakhir, kami melihat adanya peningkatan permintaan untuk sertifikasi bahkan di sektor informal dan menekankan pentingnya program pelatihan yang dapat diakses. Meskipun ada rencana untuk mendukung pekerja mandiri, pemotongan anggaran pada tahun 2025 telah membuat masa depan program-program yang saat ini dijalankan oleh Kementerian Ketenagakerjaan jadi tidak pasti.” ungkap Bayu.
Rafdinal, Direktur Badan Keuangan dan Investasi Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, hadir dalam sesi tersebut dan berbagi bahwa, program BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan iklim.
“Ke depan, meskipun kami juga turut menghadapi pemotongan anggaran yang signifikan di tahun ini, ada beberapa inisiatif desa sedang dikembangkan untuk membangun kapasitas dalam menghadapi krisis iklim, termasuk program-program seperti Desa Berketahanan Iklim dan Desa Tangguh Bencana.” ujarnya.
Sesi tanya jawab memicu antusiasme partisipan, dengan pertanyaan yang mencakup kemiskinan pedesaan, pendanaan desa, dan hak-hak pekerja migran internal. Meskipun perspektif yang ada bervariasi, semua peserta dan panelis sepakat akan urgensi krisis iklim dan dampaknya yang mendalam terhadap pekerja migran. Diharapkan peluncuran ini dapat menginspirasi kolaborasi yang lebih besar untuk memajukan pengembangan dan penelitian yang berfokus pada perlindungan dan peningkatan ketahanan pekerja migran.
Sumber : https://dfw.or.id/coping-with-climate-how-extreme-weather-is-impacting-internal-migrants-2/